Sejak dulu para ilmuwan memahami bahwa pada saat pembentukan bumi, logam berat seperti besi dan nikel menjadi unsur penyusun utama inti bumi. Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti; oksigen, silikon, aluminium, kalium, natrium dan kalsium – sebagian besar elemen tersebut terkonsentrasi di lapisan mantel dan kerak bumi.
Earth's structure - Poster struktur bumi
Poster struktur bumi. (wikipedia)

Para ilmuan berpendapat bahwa inti bumi mungkin lebih ringan dari yang telah diperkirakan, dengan asumsi, inti bumi harus mengandung beberapa unsur yang lebih ringan, seperti; oksigen, karbon, silikon dan sulfur. Kehadiran unsur-unsur yang lebih ringan tersebut, akan memberikan informasi baru tentang suhu, tekanan dan kandungan oksigen di mantel bumi, yang mengelilingi inti dan memisahkannya dari kerak bumi.

Mengupas kembali lapisan Bumi

Inti bumi berada sekitar 2.900 km di bawah permukaan bumi (sekitar 9.666 Menara Eiffel, 21.167 Tugu Monas atau 44.615 Menara Limboto). Teknologi yang ada saat ini belum mampu membantu para ilmuan untuk menyelidikinya secara langsung. Namun, baru-baru ini sekelompok peneliti dari European Association of Geochemistry telah mengembangkan metode geokimia tidak langsung untuk mengetahui komposisi inti bumi.

Para peneliti ini mendapatkan pentunjuk dari peristiwa bencana besar yang diperkirakan terjadi 4.5 miliar tahun lalu, ketika bumi bertabrakan dengan planet berukuran besar (setara ukuran planet Mars) – dikenal sebagai Planet Theia. Tabrakan tersebut mengoyak sebagian tubuh bumi dan theia, melontarkan material ke luar angkasa dan membentuk Bulan. Kejadian ini meninggalkan sidik jari yang kemudian digunakan ilmuan untuk meneliti kandungan unsur yang terdapat di inti bumi.
Skema tabrakan bumi dan theia yang membentuk bulan
Skema tabrakan bumi dengan theia. (wikipedia)
Mereka percaya bahwa dampak dari tabrakan tersebut tidak hanya menghasilkan bulan, juga mencairkan mantel bumi. Ketika mantel mencair, beberapa cairan yang kaya akan sulfur meresap ke inti dan beberapa diantaranya menguap ke angkasa. Menurut mereka, untuk mendapatkan data terbaik, kuncinya adalah melakukan pengukuran rasio isotop unsur yang ada di mantel dan kerak bumi, kemudian membandingkannya dengan rasio isotop unsur pada meteorit tertentu.

Melacak "sidik jari" Sulfur

Karena adanya keragaman pada komposisi mantel, maka sulit untuk menarik kesimpulan tegas dalam pengukuran sulfur secara langsung. Para peneliti memilih unsur tembaga dari mantel dan kerak bumi untuk dianalisis, karena tembaga adalah unsur chalcophile, maka tembaga merupakan unsur yang tepat untuk melacak sepak terjang sulfur di bumi.

Nilai isotop tembaga di dalam mantel dan kerak didapatkan dari pengukuran sampel yang dihasilkan oleh erupsi lava, serta dari peristiwa tektonik yang mendorong batuan mantel ke permukaan bumi. Data tersebut digunakan untuk mewakili apa yang disebut “bulk silicate earth”. Para peneliti kemudian dapat mengetahui kadar tembaga yang ada di inti bumi berdasarkan hasil pengurangan nilai "bulk silicate earth" dengan nilai "bulk earth".

Nilai "bulk earth" merupakan nilai isotop tembaga di bumi sebelum membentuk inti, dan sebelum dibombardir planet theia. Pengukuran langsung tentu saja tidak mungkin dilakukan, sehingga peneliti menggunakan meteorit, yang diketahui telah mengorbit matahari sejak bahkan sebelum planet-planet terbentuk, mereka menganggap meteorit sebagai analog terbaik.

Hasil perhitungan kelompok peneliti dari EAG menunjukan ada perbedaan 0.025% pada rasio isotop dari masing-masing sampel, hal tersebut menandakan bahwa sejumlah besar sulfur telah berpindah dari mantel.

Menurut mereka, setelah bumi terbentuk dari meteorit dan material luar angkasa lainnya seperti debu dan batu, bumi mulai mencair dan membentuk inti. Selama pembentukan inti, tembaga-tembaga yang "berat" meninggalkan mantel dan masuk ke inti, sedangkan tembaga-tembaga yang "ringan" tetap pada mantel bumi. Kemudian, setelah kejadian tabrakan besar planet theia, mantel bumi kembali mencair dan membentuk cairan yang kaya akan sulfur, komposisi hasil pencampuran tembaga "ringan" dengan cairan tersebut tercermin dalam komposisi yang telah diukur pada lava dan batuan saat ini.
Skema evolusi konsentrasi dan komposisi isotop Cu mantel bumi
Skema evolusi konsentrasi dan komposisi isotop Cu mantel bumi. (Savage, dkk, 2015)
Penelitian ini adalah yang pertama yang menunjukkan bukti geokimia yang jelas, bahwa suatu cairan sulfida telah berpindah dari mantel di awal sejarah pembentukkan bumi - yang kemungkinan besar masuk inti. Peneliti memperkirakan jumlah sulfur yang ada di dalam inti bumi adalah sekitar 8,5 x 1018 ton, atau sekitar 10% dari massa bulan. Di sisi lain, penelitian menambah bobot teori bahwa bulan terbentuk dari hasil tabrakan antara bumi dan theia.
---
Sumber: Europen Association of Geochemistry

Jurnal terkait:

Post a Comment

SM-IAGI UNG

{picture#https://pbs.twimg.com/profile_images/497585628695891970/5H6NQcSq.jpeg} SM-IAGI UNG | Seksi Mahasiswa - Ikatan Ahli Geologi Indonesia Universitas Negeri Gorontalo | Ekstraksi - Konservasi - Mitigasi {facebook#http://www.facebook.com/smiagiung} {twitter#http://twitter.com/smiagiung} {google#http://plus.google.com/+SMIAGIUNG} {pinterest#http://www.pinterest.com/smiagi} {youtube#http://www.youtube.com/channel/UC6ajXFGGmFmwwt-fsxNqsigL} {instagram#http://instagram.com/smiagiung}
Powered by Blogger.