Belajar Asal Mula Teori Tektonik Lempeng - SM IAGI UNG

Pegunungan Himalaya sering disebut-sebut sebagai “roof of the world” (atap bumi), karena memiliki puncak-puncak tinggi di bumi, salah satunya adalah Everest – 8.850 meter di atas permukaan laut. Puncak gunung ini ditempati oleh batugamping, tipe batuan yang terbentuk di perairan hangat laut dangkal dan pada umumnya tersusun dari sisa-sisa organisme laut, seperti; plankton, terumbu dan ikan.
Bertahun-tahun ahli geologi mencoba mencari tahu, bagaimana bisa organisme laut berada di puncak pegunungan?
Di tahun 1900-an, banyak ilmuan percaya bahwa setelah bumi terbentuk, permukaan bumi mengalami pengerutan. Teori pengerutan ini secara bebas diusulkan oleh dua ilmuan terdahulu di akhir 1800-an dan awal 1900-an, mengimplikasikan bahwa deretan pegunungan seperti Himalaya terbentuk dari proses tersebut. Teori ini mengasumsikan; semua bentuk permukaan bumi dihasilkan oleh satu proses pendingan magma dan kemudian mengerut selama lebih dari 1 juta tahun.

Wegener – “Continental Drift”

Pergerakan Benua dari waktu ke waktu - Wegner 1924
Pergerakan Benua dari waktu ke waktu.
(Wegener, 1924)
Alfred Wegener, seorang ahli geofisika dan meteorologi dari Jerman, tidak puas dengan penjelasan teori pengerutan itu. Ia mengeluarkan ide bahwa benua Afrika dan Amerika Selatan saling bercocokan satu sama lain seperti potongan puzzle. Berdasarkan pengukuran data paleoklimatik dari sisi-sisi benua yang mengelilingi Samudera Atlantik, ia menemukan lapisan batubara yang terbentuk di daerah tropis, membentang dari Amerika Utara – Eropa dan Asia, ketiga benua tersebut jauh di bagian utara dari daerah-daerah tropis moderen. Ia juga menemukan bukti bahwa lapisan es pernah berkembang di Afrika Selatan dan India. Suatu fenomena yang tidak mungkin dijelaskan berdasarkan tatanan benua-benua saat ini.

Wegener mengajukan teori pergeseran benua dalam bukunya yang berjudul “The Origins of the Continents and the Oceans”, diterbitkan di Jerman pada tahu 1915 dan di Inggris pada tahun 1924. Teorinya menyatakan bahwa pada periode Kapur (sekitar 300-360 juta tahun lalu), semua benua dulunya menyatu dalam satu superbenua yang di sebut Pangea. (lihat animasinya)

Apa yang menyebabkan benua bergerak?

Ketika buku Wegener diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, dan Rusia pada tahun 1924, banyak orang yang mencemooh teori tersebut. Salah satu masalah utama adalah ia tidak mencantumkan mekanisme dorongan dalam teori pergerakan benua.
Gaya apa yang menggerakkan benua? Dari mana asalnya? Berapa besar gaya yang dibutuhkan untuk memindahkan sebuah benua?
Barulah pada 1960-an, mekanisme dorongan yang merupakan kunci penting untuk teori pergerakan bunua, mulai terjawabkan. Wegener telah membuat peryataan berdasarkan data-data yang diambil dari benua, saat itu ia tidak menyadari bahwa ada daerah yang luas tersembunyi berkilo-kilometer di bawah lautan yang menutupi hampir 70% permukaan bumi. Perang Dunia I dan II membawa perkembangan teknis dan ilmiah yang memungkinkan ilmuan untuk memetakan dasar samudera dan mengukur kemagnetan batuannya secara detil. Kedua data tersebut mulai dikembangkan untuk memperkuat teori pergerakan benua.

Memetakan lantai samudera

Sebelum 1920-an, bentuk dasar samudera dianggap datar dan tidak memiliki ciri khusus. Namun, Selama Perang Dunia I, kapal-kapal yang dilengkapi sonar mulai menghasilkan data tentang topografi dasar samudera. Berdasarkan peta sonar ini para ilmuan mulai menyadari bahwa dasar samudera ternyata bukan hanya datar tapi juga memiliki lembah dan pegunungan.

Yang paling mengejutkan para ilmuan adalah penemuan deretan punggungan di sepanjang pertengahan samudera Atlantik, punggungan ini memiliki tinggi 1 – 2 km dari dasar laut di sekitarnya dan parallel dengan pantai di kedua sisinya. Punggungan serupa, yang di sebut “mid-ocean ridges” (pematang tengah samudera) oleh penemu mereka, juga ditemukan di bagian timur Samudera Pasifik dan bagian barat Samudera Hindia.
Berdasarkan fakta bahwa punggungan ini parallel dengan tepian benua di kedua sisinya, para ilmuan mengaitkannya dengan teori pergerakan benua, tapi apa?
Harry Hess – Geologist di Princeton University, melalui makalahnya yang diterbitkan tahun 1962 berjudul “History of Ocean Basins”, mengusulkan bahwa punggungan dasar samudera itu menandakan daerah dimana magma naik ke permukaan. Ekstrusi magma tersebut mendorong dasar samudera menjauh dari punggungan seperti conveyor belt. Sementara, palung-palung yang ditemukan di lepas pantai Amerika Selatan dan Jepang, merupakan wilayah dimana dasar samudera didorong masuk ke bawah benua yang tebal, Hess menyebutnya sebagai zona subduksi. Teori “seafloor spreading” yang diusulkan Hess menyimpulkan mekanisme dorongan untuk memperkuat teori Wegener, akan tetapi masih membutuhkan banyak bukti.

Mid Ocean Ridge (internet)
Pematang tengah samudera dan zona subduksi. (internet)
Kemagnetan batuan dasar samudera

Pada tahun yang sama saat Hess mengajukan teorinya, Angkatan Laut Amerika Serikat menerbitkan sebuah laporan yang berisi tentang temuan mengenai kemagnetan batuan dasar lsamudera. Selama Perang Dunia II, kapal-kapal menggunakan magnetometer untuk mecari kapal selam. Magnetometer digunakan setiap kali saat kapal melakukan perjalanan bolak-balik melintasi Atlantik dan Pasifik, dan mereka menemukan lebih dari sekedar kapal selam.
Ketika para ilmuan Angkatan Laut memeriksa data, mereka menemukan grafik yang menunjukan anomali pergantian kemagnetan kuat dan lemah pada batuan dasar samudera.
Data kemagnetan dihasilkan dari kehadiran mineral-mineral magnetik pada batuan, contohnya; mineral magnetit, yang umum terdapat pada batuan basalt sebagai penyusun batuan dasar samudera. Ketika magma mulai membeku, mineral magnetit akan searah dengan medan magnet bumi seperti yang terjadi pada jarum kompas.

Strip magnetic anomalies
Contoh gambar yang menunjukan anomali kemagnetan yang simetris
pada pematang tengah samudera. (homepage.smc.edu) - gambar lain
Kehadiran medan magnet bumi sudah diketahi sejak dahulu kala, tapi baru setelah Perang Dunia II para ilmuan menyadari bahwa polaritas medan bumi tidak selalu tetap. Saat ini kita berada pada polaritas normal, dimana jarum kompas akan mengarah ke utara. Tetapi pada suatu waktu tertentu di periode sebelumnya, polaritas pernah terbalik, yang berarti jarum kompas akan mengarah ke selatan. Fenomena pembalikan medan magnet sebelumnya sudah pernah ditemukan pada batuan kontinen, kasusnya sama dengan yang ditemukan pada batuan lantai samudera. Pembalikan paleomagnetik bumi yang terekam pada basalt, merupakan bukti bahwa medan magnet bumi pernah beberapa kali mengalami pembalikan sepanjang sejarah geologi.

Bukti pemekaran lantai samudera

Pada 1963, Fred Vine dan Drummond Matthews, ahli geologi Inggris, bergabung dalam kegiatan pemetaan topografi pematang tengah samudera Atlantik, mereka menemukan pola simetrik pada grafik pengukuran kemagnetan batuan dasar samudera. Ketika kapal Angkatan Laut Amerika merekam kemagnetan yang kuat, batuan menunjukan polaritas normal; dan ketikan kapal merekam kemagnetan yang lemah, batuan menunjukan polaritas terbalik.
Grafik yang dihasilkan tidak hanya paralel dengan pematang tengah samudera, namun juga berpola simetris.
Pola simetris tersebut menyimpulkan bahwa magma telah naik ke permukaan dan membeku mengunci medan magnet pada saat itu, kemudian didorong menjauh dari punggungan ke arah yang berlawanan. Catatan pembalikan paleomagnetik ini terekam sepanjang regenerasi kerak baru dari waktu ke waktu, sekaligus memberikan bukti yang diperlukan untuk teori pemekaran lantai samudera yang diusulkan oleh Hess.

Karya Hess, Vine, dan Matthews menghasilkan peta bumi yang baru, dengan adanya penambahan fitur dasar laut, diantaranya adalah pemekaran lantai samudera dan zona subduksi.
Peta Batas Lempeng Tektonik - usgs
Garis merah menunjukan pematang tengah samudera. Garis kuning menunjukan zona subduksi.
Sedangkan garis biru bukan termasuk keduanya. (USGS)
Keberlanjutan bukti teori Tektonik Lempeng

Saat ini, banyak bukti-bukti tentang tektonik lempeng yang diakuisisi dengan teknologi satelit. Melalui penggunaan Global Positioning System (GPS) dan teknik pengumpulan data berbasis satelit lainnya, para ilmuwan dapat langsung mengukur velocity (kecepatan dan arah gerakan) dari lempeng di permukaan bumi.

Himalaya, ternyata, mulai terbentuk sekitar 50 juta tahun yang lalu ketika Lempeng India bertabrakan dengan Lempeng Eurasia, mengangkat dan melipat batuan yang terbentuk di bawah permukaan laut ke puncak gunung. Karena Lempeng India sampai sekarang masih bergerak ke utara, maka Himalaya masih terus terangkat dengan laju sekitar 1 cm per tahun.
Kita tidak perlu lagi menggunakan teori pengerutan bumi untuk menjelaskan keberadaan fosil laut di puncak Himalaya; yang ternyata itu merupakan proses tektonik lempeng.
Bumi sangat dinamis – rantai pegunungan terbentuk dan kemudian tererosi, sebuah gunung berapi erupsi dan kemudian punah, muka air laut naik dan kemudian surut, perubahan-perubahan ini semua adalah hasil dari proses tektonik lempeng. Teori pergerakan benua yang diusulkan oleh Wegener merupakan langkah awal dalam pengembangan teori tektonik lempeng, yang kemudian menjadi fondasi dalam pengembangan konsep-konsep geologi moderen.
---
Compiled by @EFBumi

Referensi:
  • Hess, H. H., 1962, "History Of Ocean Basins". In Petrologic Studies: A volume in honor of A.F. Buddington. Geological Society of America, p. 599-620.
  • Vine, F. J., and Matthews, D. H., 1963. "Magnetic Anomalies Over Oceanic Ridges". Nature, v. 199, no. 4897, p. 947-949.
  • Wegener, A., 1924. "The origin of Continents and Oceans" (Entstehung der Kontinente und Ozeane). Methuen & co.

Gunung Sinabung di Indonesia pernah dianggap sebagai gunung api dorman (tidur) selama lebih dari 400 tahun, sampai akhirnya erupsi dalam jangka waktu satu bulan pada tahun 2010. Kemudian erupsi lagi pada 15 September 2013, hingga sampai sekarang masih menunjukan aktivitas vulkanik.

Memahami mengapa sebuah gunung api bangkit dari status dorman bukanlah tugas mudah bagi para ilmuan, tetapi sebuah makalah yang diterbitkan tahun lalu dalam Solid Earth menunjukan bahwa beberapa gempa mega-thrust yang terjadi di Sumatra baru-baru ini memicu erupsi Sinabung.

Peta lokasi titik-titik gempa mega-thrust di wilayah Sumatra
Peta lokasi gempa megathrust Sumatra.
(Californis Institute of Technology)
Gunung Sinabung adalah salah satu dari beberapa gunung api yang terletak di sepanjang zona subduksi Sumatra di Samudera Hindia. Daerah ini merupakan bagian dari The Ring of Fire, sangat aktif secara geologis. Kaldera Danau Toba yang berjarak sekitar 40 km dibagian tenggara Gunung Sinabung, adalah situs yang diketahui sebagai hasil erupsi supervolcanic terakhir di Bumi sekitar 75.000 tahun yang lalu.

Matteo Lupi dan Stephen Miller, penulis makalah dalam Solid Earth mengatakan, tiga gempa besar yang terjadi di wilayah ini selama tahun 2005 dan 2007 mungkin telah memicu aktivitas vulkanik Gunung Sinabung. Gempa-gempa ini meliputi; M8,6 2005, M7,9 dan M8,4 2007. Gempa dahsyat M9,2 yang melanda Indonesia pada bulan Desember 2004 kemungkinan tidak terlibat, karena gempa ini terjadi di wilayah sebelah utara busur vulkanik.



Peta lokasi jajaran gunung api terkait dengan Tunjaman Sumatra
Peta: jajaran gunung api yang terkait
dengan Sumatra Trench. (wikipedia)
Berdasarkan dalil-dalil geomekanik, geologi dan geofisika, kedua peneliti tersebut menyimpulkan bahwa gempa-gempa subduksi besar dapat mengaktifkan busur vulkanik karena mengubah jenis dan jumlah tektonik stres bawah permukaan. Sedangkan tekanan kompresi yang dirilis setelah terjadi gempa subduksi, dapat mengakibatkan gerakan strike-slip dan jenis-jenis stres tektonik lainnya. Gerakan tersebut, pada akhirnya dapat membuka saluran baru untuk aliran magma dan meningkatkan permeabilitas sistem vulkanik keseluruhan. Hal ini juga dapat menyebabkan perubahan tekanan pori yang membuat magma lebih cenderung untuk erupsi.

Fonomena semacam ini juga telah teramati setelah kejadian gempa besar di wilayah lain di dunia, seperti Chili dan Jepang.

Yang terpenting lagi, para ilmuwan mencatat bahwa gagasan gempa besar dapat memicu erupsi gunung api bukanlah hal yang baru. Charles Darwin sebenarnya pernah mendokumentasikan peningkatan aktivitas vulkanik di Chile setelah kejadian gempa M8,5 tahun 1835, yang kemudian temuan ini ia terbitkan di tahun 1840.
------
Compiled by  @EFBumi

Jurnal terkait:

Sejak dulu para ilmuwan memahami bahwa pada saat pembentukan bumi, logam berat seperti besi dan nikel menjadi unsur penyusun utama inti bumi. Sedangkan unsur-unsur lainnya seperti; oksigen, silikon, aluminium, kalium, natrium dan kalsium – sebagian besar elemen tersebut terkonsentrasi di lapisan mantel dan kerak bumi.
Earth's structure - Poster struktur bumi
Poster struktur bumi. (wikipedia)

Para ilmuan berpendapat bahwa inti bumi mungkin lebih ringan dari yang telah diperkirakan, dengan asumsi, inti bumi harus mengandung beberapa unsur yang lebih ringan, seperti; oksigen, karbon, silikon dan sulfur. Kehadiran unsur-unsur yang lebih ringan tersebut, akan memberikan informasi baru tentang suhu, tekanan dan kandungan oksigen di mantel bumi, yang mengelilingi inti dan memisahkannya dari kerak bumi.

Mengupas kembali lapisan Bumi

Inti bumi berada sekitar 2.900 km di bawah permukaan bumi (sekitar 9.666 Menara Eiffel, 21.167 Tugu Monas atau 44.615 Menara Limboto). Teknologi yang ada saat ini belum mampu membantu para ilmuan untuk menyelidikinya secara langsung. Namun, baru-baru ini sekelompok peneliti dari European Association of Geochemistry telah mengembangkan metode geokimia tidak langsung untuk mengetahui komposisi inti bumi.

Para peneliti ini mendapatkan pentunjuk dari peristiwa bencana besar yang diperkirakan terjadi 4.5 miliar tahun lalu, ketika bumi bertabrakan dengan planet berukuran besar (setara ukuran planet Mars) – dikenal sebagai Planet Theia. Tabrakan tersebut mengoyak sebagian tubuh bumi dan theia, melontarkan material ke luar angkasa dan membentuk Bulan. Kejadian ini meninggalkan sidik jari yang kemudian digunakan ilmuan untuk meneliti kandungan unsur yang terdapat di inti bumi.
Skema tabrakan bumi dan theia yang membentuk bulan
Skema tabrakan bumi dengan theia. (wikipedia)
Mereka percaya bahwa dampak dari tabrakan tersebut tidak hanya menghasilkan bulan, juga mencairkan mantel bumi. Ketika mantel mencair, beberapa cairan yang kaya akan sulfur meresap ke inti dan beberapa diantaranya menguap ke angkasa. Menurut mereka, untuk mendapatkan data terbaik, kuncinya adalah melakukan pengukuran rasio isotop unsur yang ada di mantel dan kerak bumi, kemudian membandingkannya dengan rasio isotop unsur pada meteorit tertentu.

Melacak "sidik jari" Sulfur

Karena adanya keragaman pada komposisi mantel, maka sulit untuk menarik kesimpulan tegas dalam pengukuran sulfur secara langsung. Para peneliti memilih unsur tembaga dari mantel dan kerak bumi untuk dianalisis, karena tembaga adalah unsur chalcophile, maka tembaga merupakan unsur yang tepat untuk melacak sepak terjang sulfur di bumi.

Nilai isotop tembaga di dalam mantel dan kerak didapatkan dari pengukuran sampel yang dihasilkan oleh erupsi lava, serta dari peristiwa tektonik yang mendorong batuan mantel ke permukaan bumi. Data tersebut digunakan untuk mewakili apa yang disebut “bulk silicate earth”. Para peneliti kemudian dapat mengetahui kadar tembaga yang ada di inti bumi berdasarkan hasil pengurangan nilai "bulk silicate earth" dengan nilai "bulk earth".

Nilai "bulk earth" merupakan nilai isotop tembaga di bumi sebelum membentuk inti, dan sebelum dibombardir planet theia. Pengukuran langsung tentu saja tidak mungkin dilakukan, sehingga peneliti menggunakan meteorit, yang diketahui telah mengorbit matahari sejak bahkan sebelum planet-planet terbentuk, mereka menganggap meteorit sebagai analog terbaik.

Hasil perhitungan kelompok peneliti dari EAG menunjukan ada perbedaan 0.025% pada rasio isotop dari masing-masing sampel, hal tersebut menandakan bahwa sejumlah besar sulfur telah berpindah dari mantel.

Menurut mereka, setelah bumi terbentuk dari meteorit dan material luar angkasa lainnya seperti debu dan batu, bumi mulai mencair dan membentuk inti. Selama pembentukan inti, tembaga-tembaga yang "berat" meninggalkan mantel dan masuk ke inti, sedangkan tembaga-tembaga yang "ringan" tetap pada mantel bumi. Kemudian, setelah kejadian tabrakan besar planet theia, mantel bumi kembali mencair dan membentuk cairan yang kaya akan sulfur, komposisi hasil pencampuran tembaga "ringan" dengan cairan tersebut tercermin dalam komposisi yang telah diukur pada lava dan batuan saat ini.
Skema evolusi konsentrasi dan komposisi isotop Cu mantel bumi
Skema evolusi konsentrasi dan komposisi isotop Cu mantel bumi. (Savage, dkk, 2015)
Penelitian ini adalah yang pertama yang menunjukkan bukti geokimia yang jelas, bahwa suatu cairan sulfida telah berpindah dari mantel di awal sejarah pembentukkan bumi - yang kemungkinan besar masuk inti. Peneliti memperkirakan jumlah sulfur yang ada di dalam inti bumi adalah sekitar 8,5 x 1018 ton, atau sekitar 10% dari massa bulan. Di sisi lain, penelitian menambah bobot teori bahwa bulan terbentuk dari hasil tabrakan antara bumi dan theia.
---
Sumber: Europen Association of Geochemistry

Jurnal terkait:

Jalan-jalan ke Himalaya
Daerah kawasan Himalaya (aito.com)
Lebih dari sekitar 140 juta tahun yang lalu, India merupakan bagian dari superbenua besar yang disebut Gondwana, yang menutupi sebagian besar belahan bumi bagian selatan. Sekitar 120 juta tahun yang lalu, India memisahkan diri dan mulai perlahan-lahan bergerak sekitar 5 cm per tahun ke arah utara. Kemudian, sekitar 80 juta tahun yang lalu, kecepatan pergerakan benua tersebut tiba-tiba dipercepat menjadi 15 cm per tahun - dua kali lebih cepat dari rata-rata pergerakan tektonik modern. Pada akhirnya India bertabrakan dengan Eurasia sekitar 50 juta tahun yang lalu, dan terbentuklah Himalaya.

Himalaya Formation - Pembentukan Himalaya
Pembentukan Himalaya
(Creative Commons)
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah berusaha untuk menjelaskan bagaimana India bisa bergerak ke utara begitu cepat. Para ahli geologi dari MIT telah menemukan jawaban baru: India ditarik ke arah utara oleh kombinasi dari dua zona subduksi. Ketika suatu lempeng menunjam, lempeng tersebut menarik serta daratan yang terhubung dengannya. Mereka menganggap bahwa dua penunjaman lempeng tersebut menyebabkan dua kali kekuatan tarik, yang menggandakan kecepatan pergerakan India.

Berdasarkan data sampel dan penanggalan umur batuan dari wilayah Himalaya, mereka kemudian mengembangkan model untuk subduksi ganda. dan menetapkan bahwa kecepatan pergerakan purba lempeng India bergantung pada dua faktor dalam satu sistem; lebar lempeng subduksi, dan jarak antara dua lempeng subduksi. Dengan menggabungkan data-data pengukuran ke dalam model baru tersebut, mereka menemukan bahwa sistem subduksi ganda mungkin memang telah mambawa India bergerak dengan cepat ke arah Eurasia sekitar 80 juta tahun yang lalu.



Motor Penggerak

Berdasarkan catatan geologi, India bergerak melalui Samudra Tethys yang memisahkan Gondwana dari Eurasia. Pada awalnya India bergerak dengan kecepatan biasa-biasa saja - 5 cm per tahun, dan kemudian tiba-tiba melesat hingga 15 cm per tahun. Kecepatan tersebut bertahan selama 30 juta tahun sebelum akhirnya bertabrakan dengan Eurasia.

Pada tahun 2011, para ilmuwan percaya bahwa mereka telah mengidentifikasi motor penggerak di balik pergerakan cepat lempeng India: sebuah plume magma. Menurut hipotesis mereka, plume tersebut menghasilkan jet vulkanik di bawah lempeng India, sehingga membuat India dapat bergerak dengan cepat.

Namun, ketika peneliti lain memodelkan skenario tersebut, mereka menemukan bahwa setiap aktivitas gunung api akan berlangsung paling tidak selama 5 juta tahun - waktu tersebut tidak cukup untuk menjelaskan 30 juta tahun pergerakan cepat lempeng India.

Squeezing dan Percepatan

Pada tahun 2013, peneliti MIT melakukan pengukuran paleomagnetik di Himalaya untuk menentukan di mana awalnya batuan terbentuk. Dari data tersebut, mereka menyimpulkan bahwa sekitar 80 juta tahun yang lalu, busur gunung api terbentuk di dekat khatulistiwa, pada waktu itu khatulistiwa berada di tengah-tengah Samudra Tethys.

Sebuah busur vulkanik pada umumnya identik dengan adanya zona subduksi, ilmuan MIT mengidentifikasi adanya busur vulkanik kedua di bagian selatan dari busur vulkanik pertama, dekat dengan lokasi di mana India pertama kali mulai melepaskan diri dari Gondwana. Data menunjukkan bahwa mungkin ada dua lempeng yang mensubduksi: lempeng samudera bagian Utara, dan lempeng bagian selatan (lempeng India).

Peneliti MIT mengembangkan model subduksi ganda yang melibatkan lempeng bagian utara dan selatan. Mereka menghitung seberapa cepat pergerakan yang disebabkan oleh penunjaman dua lempeng tersebut. Ketika lempeng menunjam, batuan yang ada di tepian pertemuan lempeng mengalami "squeezing". Semakin banyak batuan yang ter-squeeze, semakin cepat lempeng bergerak.

Data-data pengukuran dari Himalaya menunjukkan bahwa dimensi lempeng samudera bagian utara mencakup hampir sepertiga dari lingkar bumi. Namun, lempeng bagian selatan yang membawa India mengalami perubahan radikal: Sekitar 80 juta tahun yang lalu, tabrakan antara India dan Afrika memotong lempeng India menjadi sekitar 3.000 km - tepat di saat pergerakan India mulai dipercepat.

Berdasarkan dimensi lempeng, para peneliti MIT menghitung bahwa pergerakan lempeng India dipercepat mulai dari 5 ~ 15 cm per tahun. Sementara hasil perhitungan tersebut hampir sama dengan perhitungan yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, ini merupakan bukti pertama kali bahwa subduksi ganda bertindak sebagai motor penggerak benua.

Model percepatan lempeng India melibatkan dua tunjaman
Model percepatan lempeng India melibatkan dua tunjaman.
(Diadaptasi dari Jagoutz, O., Royden, L., Holt, A. F., Becker, T. W. 2015)
---
Sumber: Massachusetts Institute of Technology

Jurnal terkait:

Mauna Kea Gunung Tertinggi Di Dunia - from Mauna Loa Observatory Hawaii
Mauna Kea - Hawaii. (Creative Commons)
Gunung tertinggi di Bumi secara teknis bukanlah Gunung Everest.

Everest merupakan gunung tertinggi di atas permukaan laut, tetapi jika kita melihat dari sisi pandang berbeda, berdasarkan ketinggian total - dari dasar ke puncak, maka gunung tertinggi adalah Mauna Kea di Pulau Hawaii.

Here's how it breaks down:

Everest berdiri 8.850 meter di atas permukaan laut, sedangkan Mauna Kea hanya 4.205 meter di atas permukaan laut, tetapi gunung ini membentang sekitar 6.005 meter di bawah Samudera Pasifik. Hal tersebut menjadikan total tinggi Mauna Kea mecapai sekitar 10.211 meter, hampir 1 mil lebih tinggi dari Everest.

Mauna Kea merupakan gunungapi nonaktif yang berumur sekitar 1 juta tahun, terbentuk ketika lempeng tektonik Pasifik bergerak di atas Hostpot Hawaii (sebuah plume magma yang berasal dari dalam bumi), dan terakhir erupsi sekitar 4.600 tahun yang lalu (Sherrod, D.R., Sinton, J.M., Watkins, S.E., and Brunt, K.M., 2007).

Grafik di bawah ini menunjukan betapa raksasanya Mauna Kea:

7 Summit | Puncak-Puncak Tinggi Di Bumi
Perbandingan puncak-puncak tertinggi di setiap benua di Bumi. (Creative Commons)
Summit (puncak) merupakan surga bagi ahli astronomi: memiliki kelembaban yang rendah, langit yang cerah, dan jauh dari polusi cahaya. Hal tersebut memberikan kemudahan kepada ahli astronomi untuk melakukan pengamatan alam semesta, dan sekarang tercatat ada sekitar 13 teleskop yang ditempatkan di tiap-tiap summit di Bumi.

Jadi, jika teman-teman ingin mendaki gunung tertinggi di Bumi, segeralah ke Mauna kea, bukan ke Everest, apalagi ke Tentolomatinan. *__*
---
Compiled by Febryant

Referensi:

SM-IAGI UNG

{picture#https://pbs.twimg.com/profile_images/497585628695891970/5H6NQcSq.jpeg} SM-IAGI UNG | Seksi Mahasiswa - Ikatan Ahli Geologi Indonesia Universitas Negeri Gorontalo | Ekstraksi - Konservasi - Mitigasi {facebook#http://www.facebook.com/smiagiung} {twitter#http://twitter.com/smiagiung} {google#http://plus.google.com/+SMIAGIUNG} {pinterest#http://www.pinterest.com/smiagi} {youtube#http://www.youtube.com/channel/UC6ajXFGGmFmwwt-fsxNqsigL} {instagram#http://instagram.com/smiagiung}
Powered by Blogger.